Sunday, August 15, 2010

THE LAST AIRBENDER (2010) - A Review


Sebenarya sudah banyak ulasan-ulasan sebelumnya dari rekan-rekan penikmat film tentang film ini. Mayoritas menyatakan kekecewaannya terhadap karya termutakhir dari pak Shyamalan. Dan tidak bisa dipungkiri, begitu juga dengan saya. Kalau dibilang penggemar setia serial animasinya di tipi, kok rasanya ya nggak juga. Masih ada serial-serial animasi lain yang juga lebih saya sukai. Tapi yang jelas, saya juga mengikuti serial ini karena yaaa... Menurut saya ceritanya asyik. Dan kalau harus membandingkan 2 karya ini, ada 3 hal yg menjadi fokus perhatian yang ingin saya bahas.


Pertama, esensi Aang.

Sejatinya, di mata saya yg awam ini, Aang dilukiskan sebagai anak kecil dengan beban besar. Bottom line nya adalah Aang adalah anak kecil. Noah Ringer secara fisik mungkin mendekati penggambaran fisik Aang di dunia nyata. Akan tetapi, dalam terjemahan bebas om Shyamalan, entah siapa yg salah, karakter Aang jd terlalu serius. Udah gitu, diperparah dengan ketidakmampuan Ringer utk berakting natural, sehingga terkesan kaku, serius, en benar-benar tertekan. Waduh, kok jadi serius gini ya, Aangnya, kira-kira gitu gambaran saya sepanjang menyaksikan film ini. Padahal Aang tetaplah anak-anak, yang dalam serial animasinya digambarkan sedikit badung, suka bercanda, usil, dan senang bermain. Akan tetapi disaat harus serius, dia bisa jadi sosok yg benar-benar bisa diandalkan. Jadi, Aang versi Shyamalan telah meluluhlantakkan image Aang sebagai karakter sentral. Entah salah Shyamalan yang menerjemahkan, atau Noah Ringer yang terlalu serius memerankannya.


Kedua, film ini kehilangan sisi FUN-nya.

Padahal film-film petualangan seperti ini perlu unsur fun itu, agar enak dinikmati, terasa seru, dan menegangkan. Ato minimal penontonnya bisa merasa empati lah, dengan apa yg dirasakan oleh tokoh-tokoh yg ada dalam film. Ini nggak sama sekali. Film aksi petualangan dengan efek fantastis ini justru terasa membosankan, datar, tanpa berasa seru sama sekali. Cenderung garing malah! Plotnya bener-bener terasa random, parah, dan kaya ditulis ma penulis amatiran. Mengecewakan. Yang mengikuti serial tvnya pasti sudah sangat familiar dgn potongan-potongan sequence yg disusun secara kasar oleh om Shyamalan. Udah ceritanya gak enak dinikmati, gak mulus, filmnya juga benar-benar kehilangan unsur magisnya. Alhasil, penonton seolah-olah dipaksa untuk mencerna interpretasi kasar dari bapak itu tentang Aang dan teman-temannya.


Ketiga, nampaknya dalang dibalik semua kekacauan film ini ada di tangan sang kreator.

Bapak yg satu ini memang seolah-olah hidup di dunianya sendiri, gak pernah mendengarkan input orang lain tentang filmnya. Di satu sisi, mungkin oke untuk beberapa kasus tertentu. Tapi untuk sutradara film yang pernah menghasilkan karya jempolan, 3 film terakhirnya bener2 memiliki kualitas mengkhawatirkan. Film ini jadi berasa digarap sama amatiran. Ibaratnya, nonton film ini jadi berasa kaya nonton wayang kulit, dimana sang dalang gagal memberikan ruh kepada "puppet"nya, sehingga yg terlihat cuma sekelebatan kulit kesana kemari tanpa terlihat menarik sama sekali.

Tulisan ini memang seolah melengkapi tulisan-tulisan sebelumnya yg berisi kecaman terhadap karya Shyamalan. Mengecewakan.

This time, save your money guys! Invest it on something better. A better movie, of course.


Rating : 3 / 10

PENGANTIN TOPENG (2010) - A Review


Rasa-rasanya sudah tidak perlu saya ungkapkan lagi, betapa hati ini merindu film-film horror lokal berkualitas tayang di bioskop-bioskop tanah air. Atau kalau itu menjadi sebuah cita-cita yang terlalu muluk, yaaaa… nggak usah terlalu bagus lah. Yang penting baik secara visual, dan baik secara konten. Minimal, kita sebagai penonton gak di lecehkan lah. Apa para sutradara film itu berpikir asal penonton dibuat jejeritan trus pekerjaan mereka selesai? Apa terus kita puas? Wah, kalau itu yang mereka pikirkan, nampaknya mereka harus berpikir ulang lah… Penonton kita akhir-akhir ini nampaknya jadi lebih selektif dan picky untuk film-film yang akan mereka tonton. Mudah-mudahan… Ah, rasa-rasanya saya tidak cukup punya informasi untuk mengklaim hal ini.

Sebagai pecinta film horror/thriller/slasher,rasa-rasanya stok film yang kita punya tidak banyak.
Nah lo, kalo dari segi kuantitas saja tidak banyak, apalagi kalau kita berbicara atas nama kualitas yaa?

Makanya, begitu ada film yang mewakili genre ini, buatan dalam negeri pula, saya selalu tergelitik untuk pengen tau, seperti apa sih hasilnya. Kita mungkin memang expert di film horror. Dulu ada era Suzanna yg sangat digdaya dengan genre ini. Tapi kalau untuk film thriller slasher made in Indonesia, seingat saya jumlahnya gak banyak. Kualitas? Ya jangan di tanya lah….
Pengantin Topeng yang hadir di bioskop kita pada bulan Juli lalu memang membuat saya memasukkan film ini sebagai salah satu film yang saya incar. Alasannya? Simple. Film thriller, genrenya slasher, buatan anak bangsa pula..! Udah gitu, biasa laaah… pasti penasaran juga dengan adegan-adegan gak penting (melibatkan bikini) di pinggir pantai yg rasa-rasanya mengisi hampir sepertiga bagian film.


Oke. Sadar dengan konsekuensi psikologis yang akan timbul pasca menonton horror local (misalnya mual-mual, pusing, hilang kesadaran, dan hilang kewarasan), dan yang selalu saya lakukan ketika nonton film sejenis, adalah membuang jauh-jauh ekspektasi dan meninggalkan “otak dan kewarasan” saya di luar bioskop. Sejauh ini sih trik ini masih berhasil untuk meminimalisir efek jahat hantu local.
Dan bahkan ketika ekspektasi itu sudah dihilangkan dari dalam kepala, menonton dengan wajah datar tanpa ekspresi, gak berharap apa-apa, tapi masih tetap kacrut juga, berarti film itu keterlaluan. Keterlaluan bodohnya, maksudnya.
Dan hebatnya, film ini masuk dalam kategori “keterlaluan” tersebut.


Overall, hanya ada 3 hal yang perlu saya garis bawahi dari film ini. Kalau kurang jelas, fontnya bisa diganti jadi bold en di kasih highlight.


Pertama, plot. Komen saya tentang plot film ini? No komen deh. Gak perlu di bahas lagi. Saya kira semua orang pasti akan menganggap bahwa film ini digarap berdasarkan naskah juara dan punya twisted plot yang luaaar biasa! Kisah bagaimana seorang wanita berusaha membalaskan dendam keluarganya yang telah mengakibatkan penderitaan luar biasa si perempuan dan keluarga. Layaknya film dalam genre ini, adegan awal selalu diisi dengan selayang pandang tentang latar belakang bagaimana si anu bisa punya karakter ini. Ini yang kadang-kadang gak kita sadari. Trauma masa kecil sebenarnya selalu jadi penjahat yang asli!

Parahnya, kenapa seolah-olah ini jadi cetakan semua film ya? Apakah contoh dari film holywood selalu seperti ini? Atau ini hanya kecenderungan local saja? Tak tahulah…

Yang jelas, cerita maupun plotnya, sucks!

Kedua, acting. Ya, saya bukan actor dan saya tidak tahu cara berakting yang baik dan benar. Tapi sebagai penonton, saya cukup tahu lah, mana pemain film yang aktingnya oke, dan mana yang penampilannya mirip robot dengan mulut monyong-monyong seolah acting.
Oke, film ini memang diisi oleh mayoritas pemain muda. Kecuali Masayu yang yaaaa… jam terbangnya lebih banyak di bandingkan dengan yang lain. Sebagai senior, yaaaa…. Aktingnya cukup standar lah… Gak bagus, tapi juga gak parah. Bahkan dalam paruh kedua film, ketika semua rahasia terbongkar (cieeee, twisted plot nih ceritanya), penampilannya cukup meyakinkan. Sangat dingin dan judes bin jutek. Eh, tapi, apa memang ini sudah setingan mukanya Masayu, yang kadang –kadang justru terlihat judes? Anyway, Masayu bermain standar. Sisanya…… bermain parah. Sampai terpikir, apa deretan cast di film ini dipilih sambil merem kali yaa…. Atau jangan-jangan dipilihnya berdasarkan sistem cap cip cup kembang kuncup? Oh, come on… benar-benar melecehkan intelegensia penonton ah…

Yang cewek hanya bermodalkan body aduhai… yang cowok hanya berbekalkan pikiran ngeres bin cabul sepanjang waktu. Yang cewek cuma bisa joget-joget ala striptis dan gak kedinginan pake baju minim di pinggir pantai sepanjang hari. Hmm… apa pada saat casting mereka yang dipilih adalah pemain film cewek yang gak gampang masuk angin? Eh, di sisi lain, yang cowok cuma modal muka manis tapi dengan acting sok cool, yang jatuh-jatuhnya malah keliatan cupu. Kalo gak keliatan cupu, ya, mirip robot lahhh…


Ketiga, film ini kaya’ hasil reproduksi ngasal dari film-film lain. Formula film horror/thriller/slasher yang selalu mengikuti pakem-pakem tradisional seperti dibuka dengan adegan flashback, di tengah diisi dengan adegan-adegan joget-joget cabul di pinggir pantai diiringi music upbeat, trus ada adegan kejar-kejaran dan jejeritan, ditutup dengan adegan penyiksaan sambil dijelaskan asal muasal nya, kayanya dah mulai harus di tinggalkan. Apa memang film makernya terlalu malas untuk membuat cerita baru, plot baru, sehingga hanya ingin ibaratnya bongkar pasang aja? Tinggal ganti judul, ganti pemain, en ganti background, jadi deh, film baru. Atau kalau ada sutradara yang terlalu malas, kadang-kadang backgroundnya gak di ganti langsung aja di buat jadi film baru, sambil berharap bahwa kita lupa, kalau beberapa bulan yang lalu, otak kita pernah cedera parah menyaksikan film kejar-kejaran pembunuh dengan topeng petruk di air terjun yang kualitasnya juga agak jongkok. Atau memang jongkok? Tebak sendiri lah….


Kenapa gw masih tetap menonton film horror/thriller/slasher local walau tahu kalau kualitasnya selalu jongkok (malah kadang-kadang tengkurap)? Garis bawahnya adalah apresiasi. Seberapapun parahnya sebuah karya, tetap berhak untuk sebuah apresiasi. Walaupun bentuk penghargaan itu berupa caci maki bin menghujat, ya ini reaksi kita sebagai penonton. Kalau di suguhi film yang bagus, ya pasti lah kita ngasih komen yang sesuai. Tapi kalau kita disuguhi film dengan kualitas asal-asalan, gak bagus dan cenderung melecehkan otak penonton, ya wajarlah kalau komen-komen yang di keluarkan juga sebagian besar brainless alias gak pake otak, alias caci maki. Sebagai orang yang harusnya berjiwa besar, sang sutradara harusnya cukup bijaksana dan menerima ini sebagai bentuk respon penontonnya. Respon yang jujur. Kecuali sang sutradara mau mengeluarkan duit ekstra untuk membayar kami-kami para penonton film ini untuk berkomentar positif tentang film ini, boleh juga kali yaaa…
Tapi ah, rasa-rasanya saya masih ingin berkata jujur. Film kacrut tetaplah kacrut. Film dengan kualitas asal tetap gak boleh di sandingkan dengan film yang digarap dengan keseriusan dan kerja keras tingkat tinggi dari orang-orangnya.

Rating : 3/10

A SINGLE MAN (2009) - A Review


Apa jadinya bila seorang desainer kondang, tiba-tiba banting stir menjadi seorang sutradara? Can you imagine? Rasa-rasanya hampir semua orang akan meragukan hasil kerjanya, karena dua dunia yang diwakili disini memang benar-benar berbeda. Dunia film, dan dunia fashion. Tapi yang sebenarnya adalah bahwa dua profesi ini sebenarnya sama-sama melibatkan proses kreatif, dan menuangkan ide-idenya dalam bentuk visual yang lebih jelas dan terukur. Proses kreatifnya boleh dikatakan serupa, tapi outputnya memang berbeda. Well, setidaknya hal ini menurut saya lah…

Dan hal itulah yang terjadi ketika mendengar bahwa Tom Ford, yang selama ini dikenal maestro di bidang fashion, akan melakukan debut penyutradaraannya melalui film ini. Lucunya, waktu pertama kali tahu tentang film ini, saya justru tidak sadar kalau sutradaranya adalah Tom Ford yang desainer itu. Waktu itu saya pikir ada Tom Ford lain yang sutradara. Tapi ternyata bapak Tom Ford yang satu itu toh! Ealaaah… Emang bisa? Kita pasti berpikir demikian.
Dan sekilas kita pasti akan bisa menduga kalau expertise nya dalam dunia fashion akan membawa impact ke filmnya. Yaa…, minimal pasti film nya akan sangat nyeni dan dipenuhi dengan baju-baju bagus. Nggak salah sih… Tapi, setelah nonton film ini, ternyata, yang disuguhkan oleh beliau tidak cuma itu.

A Single Man adalah salah satu film drama yang dirilis tahun 2009 kemarin yang ceritanya berputar tentang masalah cinta dan kehilangan dengan tokoh sentral Profesor George Falconer. Sepintas film ini memang terkesan memiliki premis cerita sederhana nan simple, yaitu bagaimana sang profesor lajang, menjalani kehidupannya pasca kehilangan sang kekasih.
Temanya satu, tentang kehilangan. Dan bagaimana kehilangan ini membuka mata rantai untuk reaksi emosional lainnya, seperti kedukaan, kekosongan dan penerimaan diri. Grief, lost, and emptiness. Tema ini memenuhi sepanjang film yang digarap dengan sangat detil oleh sang desainer.

Sebagai seorang desainer yang terbiasa bekerja dengan detail, dan bekerja dengan hasil karya seni yang tinggi, Tom Ford pun turut memberikan pengaruhnya kepada debut filmnya ini. Film ini terasa memiliki detail yang tinggi, digarap dengan sangat hati-hati, dan tentunya sangat artistic.
Hal paling nyata tentunya terlihat dari pemilihan kostumnya. Sangat chic, terlihat elegan dan penuh warna. (Ya iyaaa laaah…. ) Background cerita yang dikisahkan berkisar pada tahun 60an dilukiskan dengan sangat rapi dan penuh detail. Kadang-kadang terlalu rapi malah! Film yang didominasi warna kelabu ini memang seolah-olah ingin memotret kesedihan dan kesenduan sang profesor. Pemilihan sudut pandang atawa angle kamera yang efektif juga cukup membantu kelancaran film ini bertutur. Walau awalnya film ini terlihat seperti sebuah video klip, namun seiring berjalannya cerita, film menjadi lebih focus dan intens.

Tema cerita yang sedikit tidak umum mungkin membuat film ini di lewatkan oleh banyak orang. Padahal kalau dilihat secara umum, tema ini mungkin aplikable untuk semua orang. Bahwa yang namanya kehilangan orang yang dikasihi, hanya gampang secara teoritis. Tapi pada prakteknya, hal ini bukanlah hal yang mudah. Great loss and grieving sang profesor di gambarkan dengan cukup baik oleh sang sutradara. Dan yang sebenarnya perlu mendapat kredit lebih, tentunya adalah sang pemeran utama yang mampu bermain ciamik dalam film ini.


Salah satu magnet utama film ini memang berada di tangan sang actor utama, Colin Firth, yang menampilkan kualitas acting luar biasaaa!!! Bener-bener penampilan yang sangat ciamik! Walau gak menang di ajang Oscar kemarin, bagi saya, penampilan bapak ini bener-bener hebat! Bahkan kalau menurut majalah Total Film terbitan Amrik, ibarat kata Colin Firth itu Oscar nya di rampok oleh Jeff Bridges, tanpa mengecilkan kualitas acting Mr. Bridges di film Crazy Heart.
Sebagai karakter sentral, Mr. Firth menampilkan persona orang yang benar-benar di rundung malang, gelisah, dan merasa kosong. Kehilangan tiba-tiba orang yang disayanginya membuat Professor Falconer limbung seolah kehilangan pegangan. Hidup tanpa arah dan tujuan. Dan semua hal itu benar-benar ditampilkan secara gumilang oleh pak Firth. Colin Firth yang selama ini banyak berperan di film-film drama atau romcom kalau nggak sebagai bapak-bapak kolot atau pria lajang penuh kekikukan, di film ini benar-benar bertransformasi menjadi sesosok pria depresif, rapuh, dan seolah kehilangan arah. Kudos untuk aktingnya, Mr. Firth!!!
Film ini juga mampu menampilkan pesona acting Julianne Moore yang tetap ciamik, dan barisan dukungan cast lain yang juga tak kalah hebatnya. Nampaknya, hal ini juga tidak terlepas dari kemampuan sang desainer mengarahkan para pemainnya sehingga mereka mayoritas bisa bermain baik dan memuaskan.

Overall, karya perdana dari sang rookie ini boleh dibilang cukup baik. Dari tangan seorang debutan, hasil karyanya terlihat seperti digarap oleh orang yang sudah berpengalaman. Yaaaa… walau masih ada kekurangan disana sini, seperti ada beberapa plot yang bolong dan kurang jelas, dan pada beberapa bagian film ini terlihat terlalu nyeni dan lebih mirip video klip, secara keseluruhan kita bisa berikan applause lah pada orang di balik film ini. Tom Ford ternyata juga punya bakat membuat film. Tapi apakah dia akan bertahan sebagai pembuat film yang baik? Harus waktu juga yang membuktikan. A Single Man sudah membuka jalan. Tinggal melanjutkan dan membuktikan kembali.


Rating : 8/10

4 MONTHS, 3 WEEKS, AND 2 DAYS (2007) - A Review


Kalau bicara kuantitas, jumlah film yang dihasilkan setiap bulan pasti buanyak sekali… Hanya saja, dari yang banyak itu, pasti hanya akan ada beberapa judul saja yang stand out, baik itu pencapaian dari segi kuantitas (dalam hal ini raupan dollarnya) dan kualitas (biasanya di ukur dari pencapaian film itu dalam ajang festival-festival film).


Dan dari sekian banyak film yang di edarkan sepanjang tahun 2007 kemarin, nampaknya tidak banyak orang yang aware dan tau salah satu film hebat ini. Sempat menghebohkan karena berhasil meraih 3 penghargaan sekaligus di ajang Cannes, 4 Months, 3 Weeks, and 2 Days adalah salah satu film yang secara efektif mampu menggiring emosi penontonnya tanpa harus ngoyo. Film dengan judul asli 4 Luni, 3 Saptamani si 2 Zile ini adalah buah kreatif Christian Mungiu yang tidak hanya menjadi sutradara, namun juga menulis film ini.


Secara singkat film ini sebenarnya hanya menggambarkan sebuah peristiwa singkat yang terjadi dalam kehidupan salah satu tokoh yang ada dalam film. Cerita tentang Otilia yang berusaha membantu temannya, Gabita, untuk menggugurkan kandungannya. Ditengah-tengahnya kita akan disuguhi perjuangan Otilia dalam membantu temannya, mulai dari mencari tempat, mengumpulkan uang, mencari orang yang bisa membantu proses aborsi, sampai menjadikan dirinya obyek pemuas nafsu mantri aborsi tersebut. Ada juga sisi lain hidup Otilia yang harus menghadapi sang kekasih dan harus kucing-kucingan dengan keluarganya.

Film ini memang bercerita tentang masalah aborsi, dan segala konflik yang melingkupinya. Tensi cerita yang dibangun pun memang lebih kepada bagaimana mereka berusaha untuk melakukan tindakan illegal tersebut, di tengah kondisi politik Rumania yang saat itu sedang memanas. Segala risiko dan bahwa mereka melakukan sesuatu hal yang tidak hanya bertentangan secara nurani tapi juga melawan hukum.


Film ini adalah salah satu film terbaik yang pernah saya tonton. Agak lebay? Mungkin. Subyektif? Pasti. Setidaknya saya punya alasan khusus untuk memberikan penilaian demikian.

Film ini sederhana. Hanya berpusat pada beberapa karakter sentral. Setingnya juga sederhana dan hanya ada di beberapa tempat. Lalu apa yang membuat film ini luar biasa?

Buat saya bagaimana film ini membangun cerita, dan secara efektif membangun tensi tanpa kita sadari adalah salah satu kredit luar biasa yang mesti kita akui. Christian Mungiu secara baik mampu membuat film yang tadinya terlihat kurang menjanjikan menjadi sebuah film dengan tingkat ketegangan yang tinggi, sangat thrilling dan membuat penasaran.


Film ini digarap dengan sangat natural sehingga terlihat sangat meyakinkan. Film ini juga secara pasti mampu membangun empati dengan para penontonnya, sehingga kita seolah-olah ikut merasakan tegang dan resah seperti yang dirasakan Otilia. Salah satu poin hebat lainnya adalah penampilan para pemainnya yang benar-benar berkualitas. Secara stand out, Anamaria Marinca yang berperan sebagai Otilia menunjukkan performa acting hebat, sehingga penonton bisa ikut merasakan ketegangannya, kegugupannya, dan reaksi-reaksi emosional lainnya. Sedangkan bintang-bintang lain (yang tidak banyak) juga secara efektif melengkapi kualitas film ini secara keseluruhan.


Film ini adalah film drama. Tapi mampu menampilkan kompleksitas cerita, kedalaman karakter, dan tensi cerita secara pasti. Hasilnya adalah sebuah tampilan film yang rapi, sangat natural, penuh kedalaman, dan baik dari segi teknis.


Film sederhana ini memang agak luput dari perhatian. Tapi jika memang anda punya kesempatan untuk menontonnya, coba deh dinikmati film ini. Mungkin agak berat atau cenderung membosankan untuk beberapa orang. Ya namanya juga film drama, butuh kesabaran ekstra untuk bisa mengikuti film ini. Apalagi cerita dan konfliknya sedikit kompleks, sehingga butuh konsentrasi tinggi untuk bisa mengetahui jalan cerita film ini secara utuh.

Tapi jangan khawatir, walau endingnya memang sengaja di buat tanpa penyelesaian, film ini tetap luar biasa buat saya. Agak sedikit langka menemukan film drama yang berkualitas, yang tidak serumit film festival pada umumnya yang biasanya lebih idealis, tapi tetap dengan kualitas juara. Terlihat ringan namun sangat padat. Terkesan sederhana namun sangat kompleks. Kudos untuk Mungiu!

4 MONTHS, 3 WEEKS, AND 2 DAYS adalah salah satu film terbaik sepanjang tahun 2007. Well, setidaknya buat saya…


Rating : 9/10

KARMA (2008) - A Review



Kata karma sering di ucapkan dalam kalimat sehari-hari untuk menunjuk pada sebuah balasan bagi mereka-mereka yang berbuat kurang baik. Meskipun konsep karma hanya di ditemukan dalam beberapa ajaran tertentu, sebenarnya konsep “balasan” ini bersifat universal dan ada dalam hampir semua kepercayaan. Dan dalam prakteknya, hal ini juga di serap dalam kebudayaan kita.


Konsep karma yang kurang lebih sama diadopsi oleh salah satu film horror produksi local yang diluncurkan beberapa tahun yang lalu. Nampaknya banyak orang yang melewatkan film ini. Entah karena promosi yang kurang efisien, atau secara konten film ini kurang mampu menarik penonton.. Entahlah… aku tak tahu.


Film horror local sudah sangat terkenal di kalangan penikmat film local sendiri sebagai film olok-olok dengan kualitas jongkok. Beberapa film memang punya premis bagus, punya bekal untuk jadi film hebat, namun dieksekusi dengan sangat “cerdas” oleh sang sutradara. Jatuhnya, sama lagi dengan pakem-pakem kuno horror Indonesia : Jejeritan tiada henti, ilustrasi music yang ganggu, adegan ngagetin “pokoknya kaget”, trus kelar. Mereka sih berpikir kalo kita bakalan senang disuguhi film katrok seperti itu. Tapi hey, mereka lupa kalo kita juga punya otak. (Walo jarang dipake juga mungkin… Hehehehehe….)


Premis film Karma sebenarnya sederhana. Bagaimana seorang perempuan, dengan idealism dan keberaniannya mencoba untuk mematahkan kutukan turun temurun yang ada di sebuah keluarga. Berbagai macam upaya dan usaha dilakukan untuk mengalahkan kekuatan tak kasat mata itu. Konflik memang berkembang dari premis itu. Namun sebenarnya ada sisi lain yang amat disayangkan kurang tergali.


Film ini memang mengambil latar belakang budaya tionghoa dan menjadi bahan pijakan bagaimana film ini dikembangkan. Hanya saja, latar budaya ini menurut saya justru kurang tergali. Padahal budaya tionghoa memang sangat dekat dengan hal-hal seperti ini. Sangat mengecewakan bahwa yang sebenarnya punya potensi untuk digali malah cuma menyentuh permukaan saja. Saya hanya merasa melihat simbolisasi-simbolisasi saja tanpa merasa adanya eksplorasi tentang kultur itu sendiri. Dan ini sepertinya memang selalu terjadi di banyak film. Mereka pikir, kalau mau mengangkat suatu tema, cukup dengan memunculkan simbol-simbol tema tertentu, and that’s it, selesai. Ya nggak gitu juga kaleee…


Kalau dalam film Karma, mereka secara sadar ingin mengangkat tema mistik dalam budaya tionghoa, tapi entah kenapa, saya pribadi lebih merasa hanya melihat simbolisasi berupa bangunan, gaya pakaian, foto, dan hal-hal lainnya yang bersifat dekoratif, tanpa memberikan kedalaman tentang budaya itu sendiri. Ya, ini sih menurut saya.


Sebagai sebuah film horror, usaha film ini memang boleh sedikit mendapat acungan jempol, karena mencoba untuk menampilkan ketegangan secara perlahan, dan tidak langsung over eksposure muka hantunya secara boros. Ketegangan di bangun melalui adegan-adegan ruangan kosong, music yang lirih, dan hal-hal lainnya, seperti hembusan angin di korden, shoot panjang di lorong yang gelap, dan lain-lain. Cukup efektif, dan sedikit berbeda dari horror-horor lain yang lebih suka menampilkan hantunya secara bombastis, fantastis, mengagetkan, dalam formula asal kaget. Jeng, jeng, jeeeeng…….

Akan tetapi, trus kemudian film ini terlalu asyik bermain dengan hal teknis tersebut, yang membuat kita menjadi lelah.


Perlu diakui juga kerja sinematografinya cukup baik dan diperkuat dari sisi artistic yang cukup. Yang terjadi kemudian adalah adegan-adegan kosong itu menjadi terlalu panjang dan memberikan efek yang benar-benar kosong. Jadi, pada saat si sosok hantu itu benar-benar menampakkan wujud aslinya, kita sudah terlalu capek untuk kaget. Atau setidaknya gembira, karena sang tokoh utama akhirnya tiba.


Dari sisi acting, boleh dibilang yang bermain cukup baik cuma Dominique. Tidak luar biasa, tapi juga gak jelek. Bintang-bintang lainnya bermain standar dan biasa saja. Yang cukup mengherankan adalah, kalau ada sebuah film yang membutuhkan pemainnya dalam kategori fisik tionghoa, kenapa yang jadi pemain kalau nggak si anu, ya si itu? Kalau nggak Hengki Solaiman, Verdi Solaiman, HIM Damsyik ya Jonathan Mulia. Apakah kita tidak punya pemain lain yang bisa mengisi layar lebar itu selain wajah-wajah mereka? Ah, tak tahulah aku dengan hal itu…


Overall, secara teknis, film ini digarap dengan cukup baik bila kita bandingkan dengan produk serupa dari tanah air. Artinya, visual yang digambarkan cukup baik dari segi sinematografi, dan dengan tata artistic yang juga cukup baik. Sedikit berbeda dari horror lainnya yang lebih suka memanfaatkan rumah tua dengan segala perabotan berdebu untuk membangun tense cerita.

Disisi lain, film ini agak kurang memuaskan dari segi cerita. Ketidak dalaman karakter juga punya kontribusi membuat film ini diisi dengan sebagian aktor-aktrisnya yang berakting bak robot. Kaku. Bekal premis yang baik dan tema yang berbeda nampaknya tidak cukup berhasil di eksekusi oleh sang sutradara. Inovasi penyajian plot yang sedikit berbeda dari film horror lainnya juga ternyata tidak cukup membantu film ini menjadi asyik untuk dinikmati. Ketegangan yang dibangun hampir semua tidak mencapai klimaksnya. Alhasil, menjadi sedikit melelahkan untuk menonton film ini.


Rating : 6.5 / 10