Sunday, August 15, 2010

A SINGLE MAN (2009) - A Review


Apa jadinya bila seorang desainer kondang, tiba-tiba banting stir menjadi seorang sutradara? Can you imagine? Rasa-rasanya hampir semua orang akan meragukan hasil kerjanya, karena dua dunia yang diwakili disini memang benar-benar berbeda. Dunia film, dan dunia fashion. Tapi yang sebenarnya adalah bahwa dua profesi ini sebenarnya sama-sama melibatkan proses kreatif, dan menuangkan ide-idenya dalam bentuk visual yang lebih jelas dan terukur. Proses kreatifnya boleh dikatakan serupa, tapi outputnya memang berbeda. Well, setidaknya hal ini menurut saya lah…

Dan hal itulah yang terjadi ketika mendengar bahwa Tom Ford, yang selama ini dikenal maestro di bidang fashion, akan melakukan debut penyutradaraannya melalui film ini. Lucunya, waktu pertama kali tahu tentang film ini, saya justru tidak sadar kalau sutradaranya adalah Tom Ford yang desainer itu. Waktu itu saya pikir ada Tom Ford lain yang sutradara. Tapi ternyata bapak Tom Ford yang satu itu toh! Ealaaah… Emang bisa? Kita pasti berpikir demikian.
Dan sekilas kita pasti akan bisa menduga kalau expertise nya dalam dunia fashion akan membawa impact ke filmnya. Yaa…, minimal pasti film nya akan sangat nyeni dan dipenuhi dengan baju-baju bagus. Nggak salah sih… Tapi, setelah nonton film ini, ternyata, yang disuguhkan oleh beliau tidak cuma itu.

A Single Man adalah salah satu film drama yang dirilis tahun 2009 kemarin yang ceritanya berputar tentang masalah cinta dan kehilangan dengan tokoh sentral Profesor George Falconer. Sepintas film ini memang terkesan memiliki premis cerita sederhana nan simple, yaitu bagaimana sang profesor lajang, menjalani kehidupannya pasca kehilangan sang kekasih.
Temanya satu, tentang kehilangan. Dan bagaimana kehilangan ini membuka mata rantai untuk reaksi emosional lainnya, seperti kedukaan, kekosongan dan penerimaan diri. Grief, lost, and emptiness. Tema ini memenuhi sepanjang film yang digarap dengan sangat detil oleh sang desainer.

Sebagai seorang desainer yang terbiasa bekerja dengan detail, dan bekerja dengan hasil karya seni yang tinggi, Tom Ford pun turut memberikan pengaruhnya kepada debut filmnya ini. Film ini terasa memiliki detail yang tinggi, digarap dengan sangat hati-hati, dan tentunya sangat artistic.
Hal paling nyata tentunya terlihat dari pemilihan kostumnya. Sangat chic, terlihat elegan dan penuh warna. (Ya iyaaa laaah…. ) Background cerita yang dikisahkan berkisar pada tahun 60an dilukiskan dengan sangat rapi dan penuh detail. Kadang-kadang terlalu rapi malah! Film yang didominasi warna kelabu ini memang seolah-olah ingin memotret kesedihan dan kesenduan sang profesor. Pemilihan sudut pandang atawa angle kamera yang efektif juga cukup membantu kelancaran film ini bertutur. Walau awalnya film ini terlihat seperti sebuah video klip, namun seiring berjalannya cerita, film menjadi lebih focus dan intens.

Tema cerita yang sedikit tidak umum mungkin membuat film ini di lewatkan oleh banyak orang. Padahal kalau dilihat secara umum, tema ini mungkin aplikable untuk semua orang. Bahwa yang namanya kehilangan orang yang dikasihi, hanya gampang secara teoritis. Tapi pada prakteknya, hal ini bukanlah hal yang mudah. Great loss and grieving sang profesor di gambarkan dengan cukup baik oleh sang sutradara. Dan yang sebenarnya perlu mendapat kredit lebih, tentunya adalah sang pemeran utama yang mampu bermain ciamik dalam film ini.


Salah satu magnet utama film ini memang berada di tangan sang actor utama, Colin Firth, yang menampilkan kualitas acting luar biasaaa!!! Bener-bener penampilan yang sangat ciamik! Walau gak menang di ajang Oscar kemarin, bagi saya, penampilan bapak ini bener-bener hebat! Bahkan kalau menurut majalah Total Film terbitan Amrik, ibarat kata Colin Firth itu Oscar nya di rampok oleh Jeff Bridges, tanpa mengecilkan kualitas acting Mr. Bridges di film Crazy Heart.
Sebagai karakter sentral, Mr. Firth menampilkan persona orang yang benar-benar di rundung malang, gelisah, dan merasa kosong. Kehilangan tiba-tiba orang yang disayanginya membuat Professor Falconer limbung seolah kehilangan pegangan. Hidup tanpa arah dan tujuan. Dan semua hal itu benar-benar ditampilkan secara gumilang oleh pak Firth. Colin Firth yang selama ini banyak berperan di film-film drama atau romcom kalau nggak sebagai bapak-bapak kolot atau pria lajang penuh kekikukan, di film ini benar-benar bertransformasi menjadi sesosok pria depresif, rapuh, dan seolah kehilangan arah. Kudos untuk aktingnya, Mr. Firth!!!
Film ini juga mampu menampilkan pesona acting Julianne Moore yang tetap ciamik, dan barisan dukungan cast lain yang juga tak kalah hebatnya. Nampaknya, hal ini juga tidak terlepas dari kemampuan sang desainer mengarahkan para pemainnya sehingga mereka mayoritas bisa bermain baik dan memuaskan.

Overall, karya perdana dari sang rookie ini boleh dibilang cukup baik. Dari tangan seorang debutan, hasil karyanya terlihat seperti digarap oleh orang yang sudah berpengalaman. Yaaaa… walau masih ada kekurangan disana sini, seperti ada beberapa plot yang bolong dan kurang jelas, dan pada beberapa bagian film ini terlihat terlalu nyeni dan lebih mirip video klip, secara keseluruhan kita bisa berikan applause lah pada orang di balik film ini. Tom Ford ternyata juga punya bakat membuat film. Tapi apakah dia akan bertahan sebagai pembuat film yang baik? Harus waktu juga yang membuktikan. A Single Man sudah membuka jalan. Tinggal melanjutkan dan membuktikan kembali.


Rating : 8/10

No comments:

Post a Comment