Sunday, August 15, 2010

PENGANTIN TOPENG (2010) - A Review


Rasa-rasanya sudah tidak perlu saya ungkapkan lagi, betapa hati ini merindu film-film horror lokal berkualitas tayang di bioskop-bioskop tanah air. Atau kalau itu menjadi sebuah cita-cita yang terlalu muluk, yaaaa… nggak usah terlalu bagus lah. Yang penting baik secara visual, dan baik secara konten. Minimal, kita sebagai penonton gak di lecehkan lah. Apa para sutradara film itu berpikir asal penonton dibuat jejeritan trus pekerjaan mereka selesai? Apa terus kita puas? Wah, kalau itu yang mereka pikirkan, nampaknya mereka harus berpikir ulang lah… Penonton kita akhir-akhir ini nampaknya jadi lebih selektif dan picky untuk film-film yang akan mereka tonton. Mudah-mudahan… Ah, rasa-rasanya saya tidak cukup punya informasi untuk mengklaim hal ini.

Sebagai pecinta film horror/thriller/slasher,rasa-rasanya stok film yang kita punya tidak banyak.
Nah lo, kalo dari segi kuantitas saja tidak banyak, apalagi kalau kita berbicara atas nama kualitas yaa?

Makanya, begitu ada film yang mewakili genre ini, buatan dalam negeri pula, saya selalu tergelitik untuk pengen tau, seperti apa sih hasilnya. Kita mungkin memang expert di film horror. Dulu ada era Suzanna yg sangat digdaya dengan genre ini. Tapi kalau untuk film thriller slasher made in Indonesia, seingat saya jumlahnya gak banyak. Kualitas? Ya jangan di tanya lah….
Pengantin Topeng yang hadir di bioskop kita pada bulan Juli lalu memang membuat saya memasukkan film ini sebagai salah satu film yang saya incar. Alasannya? Simple. Film thriller, genrenya slasher, buatan anak bangsa pula..! Udah gitu, biasa laaah… pasti penasaran juga dengan adegan-adegan gak penting (melibatkan bikini) di pinggir pantai yg rasa-rasanya mengisi hampir sepertiga bagian film.


Oke. Sadar dengan konsekuensi psikologis yang akan timbul pasca menonton horror local (misalnya mual-mual, pusing, hilang kesadaran, dan hilang kewarasan), dan yang selalu saya lakukan ketika nonton film sejenis, adalah membuang jauh-jauh ekspektasi dan meninggalkan “otak dan kewarasan” saya di luar bioskop. Sejauh ini sih trik ini masih berhasil untuk meminimalisir efek jahat hantu local.
Dan bahkan ketika ekspektasi itu sudah dihilangkan dari dalam kepala, menonton dengan wajah datar tanpa ekspresi, gak berharap apa-apa, tapi masih tetap kacrut juga, berarti film itu keterlaluan. Keterlaluan bodohnya, maksudnya.
Dan hebatnya, film ini masuk dalam kategori “keterlaluan” tersebut.


Overall, hanya ada 3 hal yang perlu saya garis bawahi dari film ini. Kalau kurang jelas, fontnya bisa diganti jadi bold en di kasih highlight.


Pertama, plot. Komen saya tentang plot film ini? No komen deh. Gak perlu di bahas lagi. Saya kira semua orang pasti akan menganggap bahwa film ini digarap berdasarkan naskah juara dan punya twisted plot yang luaaar biasa! Kisah bagaimana seorang wanita berusaha membalaskan dendam keluarganya yang telah mengakibatkan penderitaan luar biasa si perempuan dan keluarga. Layaknya film dalam genre ini, adegan awal selalu diisi dengan selayang pandang tentang latar belakang bagaimana si anu bisa punya karakter ini. Ini yang kadang-kadang gak kita sadari. Trauma masa kecil sebenarnya selalu jadi penjahat yang asli!

Parahnya, kenapa seolah-olah ini jadi cetakan semua film ya? Apakah contoh dari film holywood selalu seperti ini? Atau ini hanya kecenderungan local saja? Tak tahulah…

Yang jelas, cerita maupun plotnya, sucks!

Kedua, acting. Ya, saya bukan actor dan saya tidak tahu cara berakting yang baik dan benar. Tapi sebagai penonton, saya cukup tahu lah, mana pemain film yang aktingnya oke, dan mana yang penampilannya mirip robot dengan mulut monyong-monyong seolah acting.
Oke, film ini memang diisi oleh mayoritas pemain muda. Kecuali Masayu yang yaaaa… jam terbangnya lebih banyak di bandingkan dengan yang lain. Sebagai senior, yaaaa…. Aktingnya cukup standar lah… Gak bagus, tapi juga gak parah. Bahkan dalam paruh kedua film, ketika semua rahasia terbongkar (cieeee, twisted plot nih ceritanya), penampilannya cukup meyakinkan. Sangat dingin dan judes bin jutek. Eh, tapi, apa memang ini sudah setingan mukanya Masayu, yang kadang –kadang justru terlihat judes? Anyway, Masayu bermain standar. Sisanya…… bermain parah. Sampai terpikir, apa deretan cast di film ini dipilih sambil merem kali yaa…. Atau jangan-jangan dipilihnya berdasarkan sistem cap cip cup kembang kuncup? Oh, come on… benar-benar melecehkan intelegensia penonton ah…

Yang cewek hanya bermodalkan body aduhai… yang cowok hanya berbekalkan pikiran ngeres bin cabul sepanjang waktu. Yang cewek cuma bisa joget-joget ala striptis dan gak kedinginan pake baju minim di pinggir pantai sepanjang hari. Hmm… apa pada saat casting mereka yang dipilih adalah pemain film cewek yang gak gampang masuk angin? Eh, di sisi lain, yang cowok cuma modal muka manis tapi dengan acting sok cool, yang jatuh-jatuhnya malah keliatan cupu. Kalo gak keliatan cupu, ya, mirip robot lahhh…


Ketiga, film ini kaya’ hasil reproduksi ngasal dari film-film lain. Formula film horror/thriller/slasher yang selalu mengikuti pakem-pakem tradisional seperti dibuka dengan adegan flashback, di tengah diisi dengan adegan-adegan joget-joget cabul di pinggir pantai diiringi music upbeat, trus ada adegan kejar-kejaran dan jejeritan, ditutup dengan adegan penyiksaan sambil dijelaskan asal muasal nya, kayanya dah mulai harus di tinggalkan. Apa memang film makernya terlalu malas untuk membuat cerita baru, plot baru, sehingga hanya ingin ibaratnya bongkar pasang aja? Tinggal ganti judul, ganti pemain, en ganti background, jadi deh, film baru. Atau kalau ada sutradara yang terlalu malas, kadang-kadang backgroundnya gak di ganti langsung aja di buat jadi film baru, sambil berharap bahwa kita lupa, kalau beberapa bulan yang lalu, otak kita pernah cedera parah menyaksikan film kejar-kejaran pembunuh dengan topeng petruk di air terjun yang kualitasnya juga agak jongkok. Atau memang jongkok? Tebak sendiri lah….


Kenapa gw masih tetap menonton film horror/thriller/slasher local walau tahu kalau kualitasnya selalu jongkok (malah kadang-kadang tengkurap)? Garis bawahnya adalah apresiasi. Seberapapun parahnya sebuah karya, tetap berhak untuk sebuah apresiasi. Walaupun bentuk penghargaan itu berupa caci maki bin menghujat, ya ini reaksi kita sebagai penonton. Kalau di suguhi film yang bagus, ya pasti lah kita ngasih komen yang sesuai. Tapi kalau kita disuguhi film dengan kualitas asal-asalan, gak bagus dan cenderung melecehkan otak penonton, ya wajarlah kalau komen-komen yang di keluarkan juga sebagian besar brainless alias gak pake otak, alias caci maki. Sebagai orang yang harusnya berjiwa besar, sang sutradara harusnya cukup bijaksana dan menerima ini sebagai bentuk respon penontonnya. Respon yang jujur. Kecuali sang sutradara mau mengeluarkan duit ekstra untuk membayar kami-kami para penonton film ini untuk berkomentar positif tentang film ini, boleh juga kali yaaa…
Tapi ah, rasa-rasanya saya masih ingin berkata jujur. Film kacrut tetaplah kacrut. Film dengan kualitas asal tetap gak boleh di sandingkan dengan film yang digarap dengan keseriusan dan kerja keras tingkat tinggi dari orang-orangnya.

Rating : 3/10

No comments:

Post a Comment