Sunday, August 15, 2010

KARMA (2008) - A Review



Kata karma sering di ucapkan dalam kalimat sehari-hari untuk menunjuk pada sebuah balasan bagi mereka-mereka yang berbuat kurang baik. Meskipun konsep karma hanya di ditemukan dalam beberapa ajaran tertentu, sebenarnya konsep “balasan” ini bersifat universal dan ada dalam hampir semua kepercayaan. Dan dalam prakteknya, hal ini juga di serap dalam kebudayaan kita.


Konsep karma yang kurang lebih sama diadopsi oleh salah satu film horror produksi local yang diluncurkan beberapa tahun yang lalu. Nampaknya banyak orang yang melewatkan film ini. Entah karena promosi yang kurang efisien, atau secara konten film ini kurang mampu menarik penonton.. Entahlah… aku tak tahu.


Film horror local sudah sangat terkenal di kalangan penikmat film local sendiri sebagai film olok-olok dengan kualitas jongkok. Beberapa film memang punya premis bagus, punya bekal untuk jadi film hebat, namun dieksekusi dengan sangat “cerdas” oleh sang sutradara. Jatuhnya, sama lagi dengan pakem-pakem kuno horror Indonesia : Jejeritan tiada henti, ilustrasi music yang ganggu, adegan ngagetin “pokoknya kaget”, trus kelar. Mereka sih berpikir kalo kita bakalan senang disuguhi film katrok seperti itu. Tapi hey, mereka lupa kalo kita juga punya otak. (Walo jarang dipake juga mungkin… Hehehehehe….)


Premis film Karma sebenarnya sederhana. Bagaimana seorang perempuan, dengan idealism dan keberaniannya mencoba untuk mematahkan kutukan turun temurun yang ada di sebuah keluarga. Berbagai macam upaya dan usaha dilakukan untuk mengalahkan kekuatan tak kasat mata itu. Konflik memang berkembang dari premis itu. Namun sebenarnya ada sisi lain yang amat disayangkan kurang tergali.


Film ini memang mengambil latar belakang budaya tionghoa dan menjadi bahan pijakan bagaimana film ini dikembangkan. Hanya saja, latar budaya ini menurut saya justru kurang tergali. Padahal budaya tionghoa memang sangat dekat dengan hal-hal seperti ini. Sangat mengecewakan bahwa yang sebenarnya punya potensi untuk digali malah cuma menyentuh permukaan saja. Saya hanya merasa melihat simbolisasi-simbolisasi saja tanpa merasa adanya eksplorasi tentang kultur itu sendiri. Dan ini sepertinya memang selalu terjadi di banyak film. Mereka pikir, kalau mau mengangkat suatu tema, cukup dengan memunculkan simbol-simbol tema tertentu, and that’s it, selesai. Ya nggak gitu juga kaleee…


Kalau dalam film Karma, mereka secara sadar ingin mengangkat tema mistik dalam budaya tionghoa, tapi entah kenapa, saya pribadi lebih merasa hanya melihat simbolisasi berupa bangunan, gaya pakaian, foto, dan hal-hal lainnya yang bersifat dekoratif, tanpa memberikan kedalaman tentang budaya itu sendiri. Ya, ini sih menurut saya.


Sebagai sebuah film horror, usaha film ini memang boleh sedikit mendapat acungan jempol, karena mencoba untuk menampilkan ketegangan secara perlahan, dan tidak langsung over eksposure muka hantunya secara boros. Ketegangan di bangun melalui adegan-adegan ruangan kosong, music yang lirih, dan hal-hal lainnya, seperti hembusan angin di korden, shoot panjang di lorong yang gelap, dan lain-lain. Cukup efektif, dan sedikit berbeda dari horror-horor lain yang lebih suka menampilkan hantunya secara bombastis, fantastis, mengagetkan, dalam formula asal kaget. Jeng, jeng, jeeeeng…….

Akan tetapi, trus kemudian film ini terlalu asyik bermain dengan hal teknis tersebut, yang membuat kita menjadi lelah.


Perlu diakui juga kerja sinematografinya cukup baik dan diperkuat dari sisi artistic yang cukup. Yang terjadi kemudian adalah adegan-adegan kosong itu menjadi terlalu panjang dan memberikan efek yang benar-benar kosong. Jadi, pada saat si sosok hantu itu benar-benar menampakkan wujud aslinya, kita sudah terlalu capek untuk kaget. Atau setidaknya gembira, karena sang tokoh utama akhirnya tiba.


Dari sisi acting, boleh dibilang yang bermain cukup baik cuma Dominique. Tidak luar biasa, tapi juga gak jelek. Bintang-bintang lainnya bermain standar dan biasa saja. Yang cukup mengherankan adalah, kalau ada sebuah film yang membutuhkan pemainnya dalam kategori fisik tionghoa, kenapa yang jadi pemain kalau nggak si anu, ya si itu? Kalau nggak Hengki Solaiman, Verdi Solaiman, HIM Damsyik ya Jonathan Mulia. Apakah kita tidak punya pemain lain yang bisa mengisi layar lebar itu selain wajah-wajah mereka? Ah, tak tahulah aku dengan hal itu…


Overall, secara teknis, film ini digarap dengan cukup baik bila kita bandingkan dengan produk serupa dari tanah air. Artinya, visual yang digambarkan cukup baik dari segi sinematografi, dan dengan tata artistic yang juga cukup baik. Sedikit berbeda dari horror lainnya yang lebih suka memanfaatkan rumah tua dengan segala perabotan berdebu untuk membangun tense cerita.

Disisi lain, film ini agak kurang memuaskan dari segi cerita. Ketidak dalaman karakter juga punya kontribusi membuat film ini diisi dengan sebagian aktor-aktrisnya yang berakting bak robot. Kaku. Bekal premis yang baik dan tema yang berbeda nampaknya tidak cukup berhasil di eksekusi oleh sang sutradara. Inovasi penyajian plot yang sedikit berbeda dari film horror lainnya juga ternyata tidak cukup membantu film ini menjadi asyik untuk dinikmati. Ketegangan yang dibangun hampir semua tidak mencapai klimaksnya. Alhasil, menjadi sedikit melelahkan untuk menonton film ini.


Rating : 6.5 / 10

No comments:

Post a Comment