Sunday, April 25, 2010

DARK FLOORS (2008)


Synopsis: A man emerges with his autistic daughter and three others from a hospital elevator to find themselves trapped in the building with devilish monsters. (IMDB.com)

Cast / Crew: Skye Bennett, Noah Huntley, Dominique McElligott / Director : Pete Riski



Review:

The Fear Is Here.

Pasti banyak orang yang tidak familiar atau bahkan tidak pernah mendengar sebelumnya tentang film ini. Well, demikian juga dengan saya. Kalau malam minggu kemarin saya tidak iseng bergonta ganti saluran televisi, mungkin saya juga tidak akan tahu bahwa film ini tayang di salah satu stasiun televisi lokal Jakarta. Terlihat menjanjikan, maka saya memutuskan untuk menyaksikan film ini sampai selesai.

Terlihat menjanjikan memang. Awal film memang dibangun dengan sangat efektif, dimana horor dibangun secara perlahan. Cerita memang bergerak seputaran lingkungan rumah sakit dan semua teror yang ada didalamnya. Ada sekelompok orang yang terjebak di dalam lift yang ternyata membawa mereka kedalam sebuah petualangan survival menegangkan dan penuh teror. Ada karakter Ben dan anaknya yang sakit, Sarah. Ada juga seorang perawat, Emily, gelandangan Tobias, pengunjung rumah sakit, Jon, dan seorang security yang bahu membahu mengatasi teror tak berbentuk di setiap lantai. Perbedaan karakter dan kepentingan membuat konflik terkadang meruncing diantara mereka. Plot yang istimewa? Tentu tidak. Biasa… Sangat biasa malah!

Premis yang terlihat menjanjikan sejak awal ternyata tidak mampu diteruskan dengan baik oleh sang sutradara. Film yang awalnya terlihat menarik dan menegangkan seolah-olah dijungkirbalikkan oleh ketikmampuan film ini berkonsentrasi terhadap apa yang mau diceritakan. Alih-alih membangun suasana tegang dan seram dengan ditampilkannya berbagai macam mahluk seram didalamnya, film ini justru kehilangan fokus dan seolah berjalan tanpa tujuan yang jelas. Tidak fokus. Membuat yang menontonnya bingung, apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh film ini. Apakah ini film tentang teror rumah sakit oleh setan, iblis, monster, atau apa? Semuanya ada disini. Mungkin memang ini yang hendak disajikan oleh sang sutradara. Sebuah film horor yang dijejali oleh karakter setan wanita yang suka berteriak (scream queen), monster karnivora, monster pasir, dan monster-monster lainnya yang tidak terlihat jelas.

Cerita yang lemah dan tidak fokus, juga sama sekali tidak terbantu dari aspek teknis lainnya. Set rumah sakit sih terlihat cukup meyakinkan dan seram. Tapi itu saja. Mulai dari editing, musik, dan sinematografi yang biasa diperparah dengan efek yang yaaa…. apa adanya. Belum lagi akting para pemainnya yang parah. Karakter Sarah yang merupakan tokoh kunci tidak cukup efektif dan meyakinkan sebagai anak2 yang sakit. Yang lainnya, terlihat yaaa… bermain apa adanya. Tidak ada yang spesial.

Sebenarnya ada yang cukup menjanjikan dari plot filmnya. Ada sequence tentang bagaimana peristiwa di awal film berkaitan dengan sequence di bagian akhir. Misalnya saat Emily berusaha mencari orang lain melalui interkom, ia mendengar sebuah suara dari lantai 3. Dan pada saat di lantai 3, ia menerima panggilan dari interkom yang ternyata adalah suaranya sendiri. Creepy!! Ada sebuah plot serupa satu lagi. Sebuah plot yang sebenarnya menjanjikan dan menarik. Punya potensi jadi plot yang sangat menegangkan. Minimal membuat bergidik lah… Tapi ternyata tidak dieksekusi dengan baik oleh sang sutradara. Seolah-olah hanya menjadi tempelan belaka. Sungguh hal yang sangat disayangkan.

Akhirnya, film ini memang menjadi ‘just another ordinary movie’ yang beredar terbatas tanpa banyak yang tahu. Film produksi Finlandia ini dengar-dengar merupakan film horor termahal yang pernah diproduksi negara ini. Tapi melihat hasilnya, kok rasa-rasanya tidak sepadan antara bujet yang dikeluarkan dengan kualitas film secara keseluruhan. Ibarat kata, kualitas film ini berbanding terbalik dengan dana yang dikeluarkan.

Cerita yang dangkal, eksekusi yang gagal, dan tidak efektifnya aspek teknis membuat film ini agak kurang berkualitas. Sebenarnya film ini punya potensi menjadi film horor yang cukup menegangkan dan berkualitas baik sebagai film horor. Setidaknya hal itu ditunjukkan pada sepertiga bagian awal film. Namun bekal itu tidak mampu dilanjutkan dan dieksekusi hingga akhir. What a waste!

Dark Floors, sebuah film horor alternatif yang cukup mencekam di bagian awal, tapi kehilangan fokus dibagian tengah dan akhir. Bukan film horor berkualitas, cenderung mudah dilupakan dan luput dari perhatian.

Go see it! And I hope you’ll enjoy the show!!

Rating : 5 / 10

Friday, April 23, 2010

MAMMA MIA! (2008)


Synopsis: The story of a bride-to-be trying to find her real father told using hit songs by the popular '70s group ABBA. (IMDB.com)

Cast / Crew: Meryl Streep, Pierce Brosnan, Colin Firth, Stellan Skarsgard, Amanda Seyfried / Director : Phyllida LLoyd



Review:

Take a trip down the aisle you'll never forget

Apa yang dibutuhkan oleh sebuah film musikal untuk meraih sukses besar dalam pendapatannya? Ya, mungkin formulanya bisa seperti ini :

Barisan aktor/aktris gaek (meryl streep, pierce brosnan, colin firth, and the gank) + bintang muda nan rupawan (amanda seyfried, dominic cooper) + seting lokasi pulau kecil yang eksotis + whole package of ABBA's amunition!!!

Hasilnya? Sebuah film musikal dengan kualitas di atas rata-rata dengan penghasilan yang luar biasa!!!

Formula ini berlaku sangat efektif dan tepat untuk film yang diproduksi tahun 2008 ini. Angka terakhir menunjukkan raupan dollarnya untuk peredaran diseluruh dunia sampai dengan saat ini (data IMDB.com per tanggal 5 April 2010) berada pada USD 602,609,487!!! Sebuah angka yang sangat fantastis untuk film dengan genre musikal dengan bujet sekitar 50 juta dollar saja.

Menyaksikan film ini ibarat sebuah petualangan nostalgia yang cukup menghibur. Dibesarkan dengan latar belakang keluarga yang menikmati musik dari berbagai macam jenis, membuat telinga saya akrab dengan musik-musik mulai dari Andy Williams, Beatles, Panbers, sampai dengan Koes Plus (tua banget ya?). Termasuk ABBA!

Jadi, ketika mengetahui bahwa film yang dibuat berdasarkan naskah broadway dengan judul sama, membuat saya merasa sangat antusias menantinya. Dan ternyata penantian itu tidak sia-sia.

Ibarat menaiki roller coaster, itulah rasanya menyaksikan film ini. Seru!! Betapa menyenangkannya menyaksikan Meryl Streep menyanyi Mamma Mia! di atas atap kandang kambing, atau trio Pierce-Colin-Stellan yang nyanyi Our Last Summer, dan masih banyak sequence-sequence menarik didalamnya.

Film ini memang disajikan dalam kemasan yang sangat menarik, penuh humor, ringan dan sangat segar!!

Melihat penampilan para penampil di film ini yang sangat all out, merupakan keasyikan tersendiri. Jarang-jarang kita bisa melihat Pierce Brosnan bernyanyi dalam sebuah film. Walaupun dengan kualitas suara ala kadarnya, namun usahanya boleh diacungi jempol lah!

Untuk ukuran sebuah film drama-musikal-komedi, film ini bercerita dengan sangat efektif. Sebenarnya hal ini sih lebih dikarenakan plot cerita yang memang sederhana.

Cerita tentang kegelisahan masa remaja menjelang dewasa, krisis paruh baya, dan konflik keluarga menjadi sajian utama dari film dengan durasi 108 menit ini. Tidak ada yang istimewa. Secara konten atau isi, film ini hanyalah sebuah film keluarga dengan konflik ringan dan dalam skala yang domestik. Yang membuat film ini menjadi istimewa adalah barisan para cast yang kuat dan total dalam perannya dalam film ini. Tidak ada satupun yang bermain jelek. Bahkan para penari dan figuran lainnya seolah ditempatkan dalam tempat yang pas dan efektif. Berlebihan? Mungkin. Hehehe…

Totalitas dan dedikasi dari pemain film Mamma Mia! terlihat dengan betapa mereka sangat terlihat menikmati perannya dalam film ini. Semua terlihat natural, tanpa beban, dan santai membawakan perannya. Hasilnya, penampilan yang sangat segar dan atraktif.

Selain naskah yang kurang tereksplor, yang terasa agak kurang juga dalam film ini adalah aspek sinematografinya. Gambar-gambar yang dihasilkan memang cukup indah. Namun seharusnya, film ini bisa lebih baik memotret keindahan pulau tropis yang menjadi settingnya. Warna bebatuan pulau yang kecoklatan berpadu dengan warna laut yang biru menghasilkan sebuah pemandangan kontras yang indah. Walaupun bukan ekspert atau pakar dalam bidang ini, saya cuma merasa bahwa seharusnya film ini bisa lebih jauh lagi menangkap keindahan dan ke-eksotis-an pulau sehingga film ini menjadi jauh lebih artistik dan indah.

Mamma Mia! menawarkan sebuah eksplorasi yang sangat menawan dari lagu-lagu ABBA yang fenomenal. Saya bisa melihat mayoritas penonton selalu ikut bernyanyi setiap kali ada sebuah lagu dinyanyikan dalam film ini.

Saya yakin banyak orang yang datang menonton film ini tidak hanya ingin sekedar mencari hiburan. Ada yang memang secara khusus ingin bernostalgia dengan masa lalunya, sewaktu lagu2 ABBA masih hits di jamannya. Terlihat dari variasi para penonton yang tidak hanya berusia remaja atau dewasa awal, tapi juga mereka-mereka yang usianya mungkin cukup tua. Malah waktu saya ada kesempatan menyaksikan film ini di salah satu bioskop di Malaysia, ada sepasang kakek nenek yang selalu bergandengan tangan sepanjang film ini, sembari ikut bernyanyi. What a beautiful experience!

Diluar segala kelebihan dan kekurangannya, film ini memang terasa sangat menyegarkan dan menyenangkan. What a feel good movie. Hampir bisa dipastikan bahwa setelah menyaksikan film ini anda akan merasa senang dan bahagia. Well, at least buat saya! Minimal orang akan terhibur dengan penampilan seru Meryl Streep dan kawan-kawan. Dan yang muda bisa menikmati penampilan Amanda Seyfried yang manis.

Mamma Mia! menjadi cukup personal buat saya. Lebih karena kedekatan saya dengan lagu2 ABBA yang sudah familiar di telinga saya. Dan sebagai sebuah karya film, Mamma Mia! adalah salah satu film musikal favorit saya, yang diramu dengan sangat manis, cukup indah, dan menyenangkan. Sebuah pengalaman sinematis yang sulit dilupakan begitu saja!

Go see it! And enjoy the show!!

Rating : 7.5 / 10

MOULIN ROUGE! (2001)


Synopsis: A poet falls for a beautiful courtesan whom a jealous duke covets in this stylish musical, with music drawn from familiar 20th century sources. (IMDB.com)

Cast / Crew: Nicole Kidman, Ewan McGregor, John Leguizamo, Jim Broadbent, Richard Roxburgh / Director : Baz Luhrmann



Review:

The greatest thing you'll ever learn is just to love, and be loved in return.

Quote diatas adalah salah satu quote favorit saya sepanjang masa. Hmmm… pasti indah rasanya jika kita bisa mencintai sekaligus dicintai oleh orang yang kita sayangi. Anyway, kita tidak sedang membahas tentang cinta. Tapi film tentang cinta.

Sangat kaya warna, penuh desain dan detil artistik, glamour, dan extravaganza!

Mungkin itu adalah gambaran singkat tentang karya Baz Luhrmann di tahun 2001 yang mengeksplorasi esensi cinta dan pengorbanan secara hiperbolik. Dengan kata lain sih, Moulin Rogue! adalah film dengan nilai artistic sangat tinggi yang cukup revolusioner pada saat itu.

Film musical memang selalu jadi genre yang agak terpinggirkan di ranah holywood. Tidak banyak film musical berkualitas yang diproduksi di pusat film dunia ini. Selera pasar juga nampaknya tidak cukup responsif pada saat itu. Bahkan kalau boleh dibilang, raupan dollar yang diraih film ini tidak terlalu tinggi seperti yang diharapkan. Tapi walau kedodoran di lini komersial, film ini tidak lantas gagal dalam aspek kualitas.

Film ini adalah film musical yang mencoba meraih penontonnya dari segala rentang usia. Kemampuan Baz meramu lagu-lagu top 40 kedalam adonan film musical ini membuat film ini terasa sangat pop dan hype! Ada lagu lama Elton John yaitu Your Song, Diamond Dog, I Will Always Love You-nya Whitney Houston, sampai lagu beraliran grunge milik Nirvana “Smells Like Teen Spirit” yang di selipkan disini. Nice job, Baz!

Namanya film musikal, pasti diisi dengan nyanyian. Dalam film ini, hampir semua pemain menyanyikan lagu2 yang ada di film ini. Dan hasilnya, kita bisa melihat Nicole Kidman, Ewan McGregor, Jim Broadbent, John Leguizamo dan cast lainnya tampil bak penyanyi professional. Tidak terlalu mengecewakan lah… not bad! Walau tidak bisa dibilang luar biasa pula.

Terlepas dari segala detil artistik yang luar biasa, film ini memang agak sedikit lemah dalam hal penceritaannya. Plotnya. Cerita tentang petualang muda yang naïf dalam pencariannya akan jati diri dan cinta, tentang pengorbanan, dan tentang cinta mengatasi segala permasalahan. Klise? Bisa dibilang begitu.

Plot memang tidak bergerak jauh dari usaha Christian (Ewan McGregor) untuk bercinta-cintaan dengan Satine (Nicole Kidman) ditengah tentangan sang Duke. Si miskin mencintai sang primadona, tapi dihalang-halangi oleh sang kaya. Sounds very familiar, right?

Di antara riuh rendahnya konflik segitiga ini, muncul beragam karakter penuh warna yang mengisi film ini. What an ensamble! Nicole Kidman tampil sebagai seorang Courtesan yang anggun, elegan, tapi haus akan kasih sayang. Sedangkan Ewan bermain cukup meyakinkan sebagai seorang penyair muda yang tetap naïf dalam memandang segala hal dan pantang menyerah. Buat saya, chemistry yang terbangun di antara keduanya lumayan terasa. Jika saja di eksplor secara lebih mendalam, pasti keduanya terlihat lebih meyakinkan sebagai pasangan yang benar2 sedang mabuk asmara.

Kekuatan film ini, dibalik naskahnya yang cenderung biasa, adalah dalam tata artistiknya. Betapa set panggung didesain secara luar biasa, dengan tampilan akhir yang megah, mewah, sekaligus fenomenal. Belum lagi ada kamar khusus Satine yang didesain berbentuk gajah india lengkap dengan unsur-unsur kemewahan dan glamour didalamnya. Detil-detil yang ada membuat film ini serasa sangat kaya, dan kita diajak masuk kedalam dunia hiburan malam yang penuh warna saat itu.

Desain kostum yang luar biasa indah, cantik, dan glamour yang bertebaran disepanjang film ini menambah kemeriahan warna yang semakin membuat film ini tampak kaya!

Aspek2 teknikal lain seperti sinematografi, editing, bahkan koreografi menyempurnakan karya Baz Luhrmann ini! Sudut2 pengambilan gambar yang efektif memang mampu merekam semua detil2 yang ada. Disisi lain, editing menyempurnakan pergerakan gambar dan cerita yang sedikit cepat di awal film, melambat di bagian tengah, dan kembali ngebut di bagian sepertiga akhir.

Koreografi untuk film2 musikal jelas menjadi salah satu magnet utamanya. Mengarahkan puluhan bahkan lebih penari dalam sebuah set, untuk satu adegan, tentu bukan pekerjaan mudah. Dan Moulin Rouge! mampu melakukan itu semua secara baik. Semua gerak tari, musik, dan background melebur menjadi satu, membuat Moulin Rouge! mampu menghidupkan keglamouran, keindahan, dan keriuhan kehidupan malam di Perancis abad pertengahan itu, sekaligus merekam kegelapan dan kegalauan hati para penghuninya disisi lain.

Moulin Rouge! secara mampu dan meyakinkan tampil sebagai film musical yang sangat kaya, sangat tinggi nilai artistiknya, dan dihiasi dengan lagu2 top 40 yang tentunya sudah akrab di telinga kita. Walau lemah di bagian cerita, film ini menyuguhkan penampilan komikal dan total para pemainnya. Kredit khusus untuk Jim Broadbent yang tampil penuh percaya diri dan all out dalam film ini.

Moulin Rouge! bukan film musical terbaik sepanjang masa. Bukan… Tapi apa yang coba diraih film ini sudah cukup membuktikan bahwa kerja keras dibaliknya membuatnya pantas menerima 2 piala Oscar untuk kategori art direction dan costume design! Ibaratnya, sebuah barang atau benda yang sebenarnya biasa saja, dibungkus dengan sangat indah dan rapi, penuh ketelitian dan sangat artistik.

Once again, Moulin Rouge!, film dengan nilai-nilai artistic sangat kaya, detil2 mengagumkan, dan warna-warni kostum yang indah, walaupun tidak terlalu memuaskan dari pondasi ceritanya. But still, this movie has one of the most exciting and beautiful cinematic experiences I have…

Go see it! Enjoy the show!

Rating : 7.5/10

Thursday, April 22, 2010

FINDING NEMO (2003)


Synopsis: A father-son underwater adventure featuring Nemo, a boy clownfish, stolen from his coral reef home. His timid father must then travel to Sydney and search Sydney Harbour to find Nemo. (IMDB.com)

Cast / Crew: Albert Brooks, Ellen DeGeneres, Alexander Gould, Willem Dafoe / Director : Andrew Stanton & Lee Unkrich



Review:

There are 3.7 trillion fish in the ocean*, they're looking for one.

Banyak orang yang berasumsi bahwa film animasi hanyalah milik anak-anak. Padahal kalau ditilik lebih lanjut, tidak semua produk film dalam format animasi layak dinikmati oleh anak-anak. Contoh dekat, Crayon Shinchan, yang secara konten agaknya kurang pas apabila disaksikan oleh anak-anak.

Well, kita tidak sedang membahas hal ini. Yang ingin saya kemukakan adalah pengalaman visual yang mendebarkan dan penuh pesona dari salah satu film animasi terbaik sepanjang masa (IMHO), Finding Nemo.

Selama kurang lebih 100 menit, kita disuguhi petualangan Marlin mencari anaknya, Nemo, yang diculik oleh penyelam dari laut perairan Australia. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh ikan biru pelupa (tapi tulus), Dory, yang menjadi sidekick sang clownfish.

Secara konten, film ini memang menampilkan nilai-nilai edukasi dan kekeluargaan yang sangat kental, khas film Disney. Dan bukan Disney pula kalau tidak mampu menciptakan pemandangan-pemandangan bawah laut yang luar biasa indah, stunning, dan mempesona. Setiap detail yang diciptakan sangat luar biasa. What a cinematic experience… Visually stunning, accompanied by powerful story!

Apa yang coba ditawarkan film ini sebenarnya mungkin akan secara spesifik lebih mengena kepada hubungan ayah-anak dibanding dengan yang lainnya. Karena kita akan secara langsung melihat bagaimana sosok ayah digambarkan akan melakukan apa saja untuk membahagiakan keluarganya, dalam hal ini sang anak. Tapi film ini lebih dari sekedar itu. Kemampuannya menjangkau semua lapisan masyarakat dengan pesan-pesan moralnya yang sarat, membuat film ini menjadi mudah diterima. Ada pesan tentang keluarga, ada pesan tentang perjuangan, dan yang terpenting ada pesan tentang rasa percaya. Bagaimana sang anak (Nemo) menuntut kepercayaan sang ayah (Marlin), ada pula cerita tentang Dory yang ingin dipercaya kalau ia mampu membantu Marlin untuk mencari Nemo, dan ada pula babak tentang bagaimana Nemo berusaha membangun rasa percaya terhadap dirinya sendiri untuk membantu menyelesaikan masalah.

Believe. Percaya. Itu juga mungkin yang menjadi dasar ataupun pondasi bagaimana film ini dibuat. Orang-orang jenius di balik film ini yakin bahwa mereka akan mampu membuat sebuah karya dengan visual yang indah diatas pondasi cerita yang kuat pula. And they did!

Finding Nemo bukan film animasi biasa. Bahkan satu diantara masterpiece yang pernah dibuat oleh Disney! Well, sudah menonton lebih dari 10 kalipun saya tidak merasa bosan. Tetap ada decak kagum untuk setiap detail yang ada, tetap ada tertawa lepas melihat tingkah laku Dory yang konyol, dan tetap ada kesedihan ketika Marlin harus kehilangan anggota keluarga lainnya.

Finding Nemo adalah film yang secara pasti mampu mengemas dirinya melewati waktu. Sensasi menyaksikan film ini masih tetap terjaga dengan baik. Disaksikan kemarin pada saat film ini dirilis maupun ditayangkan ulang ditelevisi, antusiasme yang dulu ada tetap hadir. Well, at least itu yang saya rasakan…

Benar-benar sebuah film yang baik.

Secara kualitas, terbukti bahwa film ini berhasil meraih penghargaan tertinggi di industri film. Apalagi kalau bukan Oscar dan Golden Globe. Secara kuantitas, tidak bisa dikesampingkan juga raupan box office nya yang tinggi. Walau bukan film animasi dengan pendapatan terbesar di dunia, tapi cukup lah untuk membayar kerja keras bertahun-tahun menciptakan film ini.

Go see it, enjoy the show!!!

Rating : 9/10

SUSTER KERAMAS (2010)


Synopsis: Mengisahkan seorang wisatawan Jepang (Rin Sakuragi) yang mencari saudaranya yang berprofesi sebagai suster di Indonesia. Ironisnya, saudaranya itu ternyata sudah meninggal. (cineplex21.com)

Cast / Crew: Rin Sakuragi, Herfiza Novianti, Rizky Mocil, Zidni Adam, Shinta Bachir / Director : Helfi Kardit



Review:

Jangan.. jangan apatis dulu tentang tulisan saya yang satu ini… Bukan hendak memuja muji atau mendukung film dengan tema serupa untuk tetap tampil di bioskop-bioskop lokal. Tapi ya, ini memang fakta, bahwa sampai saat ini pun, kita masih dibanjiri dengan film-film dengan kualitas serupa yang setali tiga uang hanya mengedepankan unsur komersialitas belaka.

Datang ke bioskop, dengan pilihan yang sempit terhadap film2 yang tayang saat itu membuat saya akhirnya mengambil keputusan berat membeli karcis dan menonton film yang sempat menghebohkan ini. Well, I’m craving for good horror movie actually! Sebagai penggemar film horror, saya selalu merasa haus dengan film yang genrenya akhir2 ini banyak diproduksi, dengan kualitas apa adanya tentunya. Ok lah, saya putuskan untuk menonton saja film ini. Toh ini tetap suatu hasil karya seseorang. Apapun penilaiannya, tetap berhak untuk mendapatkan apresiasi. Bahkan nilai 1 (dari skala 1 – 10) tetap merupakan hasil apresiasi buat mereka, daripada tidak sama sekali. Dibalik kualitas film yang jungkir balik, tetap saja ada usaha dibaliknya. Itu yang, yaaa…, perlu sedikit kita hargai.

Baiklah, kita mulai saja petualangannya!

Sadar bahwa film ini adalah film dengan premis tidak jelas, berbau pornografi yang tajam (ya iyalah… Rin Sakuragi gitu loh), dan yaaa, apa yang mau diharapkan dari film ini, saya sadar, bahwa saya harus meninggalkan otak saya di luar teater. Tidak mungkin saya menggunakan logika ketika menyaksikan film horror ini. Saya tidak berharap banyak kecuali, yaaa, setidaknya bisa sedikit menghibur. Impas lah dengan uang karcis yang sudah saya keluarkan! Tapi nampaknya saya terlalu naïf.

Hampir tidak ada yang bisa saya nilai positif dari film ini.

Mari kita persempit saja pembahasannya dalam 3 aspek. Cerita, teknikal, dan acting.

Dari segi cerita, well, apa lagi yang bisa saya katakan? Selain premis cerita tentang 3 orang mahasiswa (1 perempuan dan 2 pria super cabul) yang jauh2 datang ke puncak untuk sekedar mengerjakan tugas (yang sampai pada akhir cerita tidak terjawab, tugas apa yang membuat mereka harus berkilometer jauhnya mengasingkan diri), yang dihantui arwah penasaran suster yang hobi keramas, punya tetangga pasangan produser dan bintang film porno, dan tiba2 didatangi Rin Sakuragi yang ditemenin sama Yadi Sembako, apa yang bisa diharapkan? A total chaos! A brainless cinematic experience. Di tambah dengan bumbu2 pornografi, tingkat “cabul”itas yang tinggi, dan focus cerita yang berubah-ubah, film ini bahkan sudah kehilangan identitasnya sejak awal. Judul suster keramas rasa2nya kurang pas. Mungkin lebih pas kalau dikasi judul “Bintang porno jepang datang ke sukabumi karena iseng kebanyakan duit, ketemu dengan rombongan cabul yang agak2 kurang berotak trus dikejar2 setan”. Well how about that?

Dari segi teknikal, what more can I say? Tidak ada yang baru, tidak ada yang berbeda. Standar. Masih tetap dipenuhi dengan musik2 mengagetkan ala film2 horor murahan, make up jelek, art yang sangat biasa, dan sinematografi gelap dan scene2 penuh kabut.

Yang paling parah, dan paling mengganggu buat saya, adalah performa dari para pemainnya yang benar2 terlihat seperti amatiran. Well, saya tidak bisa berakting. Tapi saya cukup tahu lah siapa yang bermain bagus dan siapa yang bermain jelek. Saya tidak mengharapkan performa setara acting Tom Hanks atau Catherine Zeta Jones. Atau bahkan Tio Pakusadewo? Tapi mbok ya jangan gitu.. Buat saya, performa para pemainnya sangat annoying. Ganggu. That’s it!

Kalau ada yang berargumentasi, “sudah tahu filmnya seperti itu, ngapain ditonton?”, ya saya juga tidak bisa menyalahkan. Justru dengan bekal kesadaran bahwa saya tidak bisa mengharapkan kualitas jempolan dari karya2 seperti ini, apa yang disuguhkan kepada saya tetap jauh dibawah ekspektasi saya yang sudah rendah. Bahkan buat saya, film ini gagal menghibur. Satu2nya aspek yang tersisa juga gagal dieksekusi dengan baik. Penampilan beberapa bintangnya yang digadang2 akan menjadi penampilan komedikal, justru benar2 memperburuk kualitas film secara umum. Alih2 lucu, mereka malah terlihat (maaf) bodoh dan berlebihan.

Overall, film ini adalah sebuah karya sinema yang miskin kualitas. Tidak ada yang bisa kita harapkan. Bahkan untuk menilai positif pun agak menjadi sedikit sulit. Kualitas film memang menjadi tak terukur dengan segala kekacauan yang ada didalamnya. Dan parahnya, buat saya, film ini juga sama sekali tidak menghibur. Tidak ada satupun momen dalam film ini yang bisa saya kategorikan sebagai hiburan, atau lucu, atau humor, atau apalah…

Tapi, dengan tetap berusaha berpikiran positif dan menghargai usaha orang lain, ini tetap sebuah karya. Saya merasa tetap perlu berapresiasi dan memberikan penilaian. Begitu juga untuk karya2 sejenis yang mungkin ada. Buat saya, rating 2 (dari skala 10) untuk film ini bukanlah tanpa pertimbangan. Well, at least saya mencoba mengambil positifnya aja. Apa yang bisa saya ambil dari film ini adalah : lumayan, bisa buat killing time barang sejam, dingin di ruangan ber-AC, di tengah kebengongan di hari minggu. That’s it! Itu saja. Tidak kurang, tidak lebih..

This time, don’t go see it, you might not enjoy the show!!!

Rating : 2/10

SILK (Gui si) (2006)


Synopsis: In Taipei, the crippled scientist Hashimoto uses his invention of "Menger Sponge" to capture the energy of the spirit of a child in an old building. (IMDB.com)

Cast / Crew: Chang Chen, Yosuke Eguchi / Director : Chao-Bin Su




Review:

The World's First Caught Spirit

Silk atau sutra terkenal sebagai bahan yang halus, ringan, dan lembut. Benangnya pun sangat lembut nyaris tak terlihat, karena lembutnya. Meskipun demikian, apa yang diungkapkan film ini jauh berbeda dengan definisi sutra pada umumnya.

Silk adalah film produksi tahun 2006 dengan sutradara Chao-Bin Su. Film bergenre horror ini memiliki cara bertutur yang sedikit unik dan tak lazim. Ketegangan cerita dan nuansa horror tidak dibangun diatas cerita yang biasa dan tidak melulu dengan adegan2 mengagetkan seperti layaknya film2 horor local.

Kalau boleh dibilang, film ini memiliki kekuatan yang nyaris sama untuk aspek horror maupun dramatisnya.

Dramalurgi dibangun diatas pondasi cerita tentang Tung yang sedang berjuang menghadapi kehidupan pribadinya yang nyaris luluh lantak. Trauma masa lalu dan konflik dengan sang ibu membuat Tung menjadi sedikit gamang dalam mengambil langkah panjang dalam hidupnya. Hal ini sedikit banyak membuat hubungannya dengan sang pacar menjadi terkatung2. Ketergantungan sang ibu terhadap sosok Tung membuatnya terlihat kuat dari luar, namun rapuh didalamnya. Disisi lain, ada lagi cerita tentang Hashimoto yang terobsesi dengan Menger Sponge yang pada akhirnya membuatnya sedikit irasional. Sponge khusus ini dipercaya mampu mengunci energi hantu dan membuatnya tak bisa kemana-mana. Pada akhirnya, ia mengurung roh seorang anak kecil didalam sebuah ruangan di apartemen tua. Plot utama tentunya tentang sosok anak dan ibu yang terikat oleh benang sutra tipis, dan semua drama yang menjadi latar belakang ceritanya. Bahwa sang ibu merasa berat dengan kondisi sang anak yang memiliki sedikit kelainan fisik yang pada akhirnya membawanya pada sebuah tindakan ekstrem. Menghabisi nyawa sang anak. Roh anak ini yang kemudian di kurung oleh Hashimoto dengan menggunakan Menger Sponge.

Well, sajian drama berat memang sangat terbangun dengan plot-plot tadi. Membuat film ini menjadi agak terlalu berat unsur dramanya. Tidak membuatnya menjadi jelek, hanya saja membuat kita menjadi agak sedikit lelah ketika harus mengikuti ceritanya yang cukup panjang.

Horornya sendiri dibangun diatas nuansa muram dan gelap, gedung tua yang tak terawat, malam yang pekat, dan tentu saja penampakan sang bocah. Agak sedikit surprise bahwa film ini menampilkan sosok roh sang anak secara eksplisit dan jelas sejak awal, tidak seperti film horor yang umumnya hanya menampilkannya sekelebatan, atau hanya jelas pada akhir film. Walau demikian, unsur horor tidak berkurang sama sekali dan tetap terjaga sepanjang film. Malah pada beberapa titik, horor menjadi lebih tegang manakala sang bocah sudah mulai menentukan targetnya dan mengincar korbannya.

Film ini memang berbeda. Penempatan proporsi drama dan horor secara nyaris seimbang bukan sesuatu hal yang lazim, meskipun tidak bisa dibilang revolusioner juga. Tapi, tidak banyak film seperti ini. Kalaupun ada, tidak banyak yang mampu mempertahankan kedua genre ini berjalan efektif sepanjang film. Biasanya salah satunya akan menjadi dominan dibanding yang lain.

Disisi lain, sebagaimana sudah saya sampaikan tadi, porsi drama yang besar dengan plot cerita yang juga gelap membuat penonton menjadi sedikit lelah mengikuti alur cerita yang panjang. Belum lagi tempo film yang cukup lambat. Membuat film ini berpotensi membuat bosan para penontonnya atau menjadikan film ini agak sedikit sulit untuk diikuti

Silk adalah film horor dengan kualitas baik. Dengan ilustrasi musik yang pas, sudut pandang kamera yang tepat, dan dukungan aspek teknis lainnya yang baik, film ini menjadi cukup memorable buat saya. Satu hal lain yang cukup berkesan adalah para pemainnya yang bermain sangat baik! Akting paling dominan dan paling kuat datang dari Chang Chen. Performanya pas sebagai polisi berperangai keras, teguh, tangguh, tapi ternyata rapuh didalamnya. The rest cast, bahkan Barbie Hsu, bermain cukup baik dan meyakinkan. Nampaknya pemilihan castnya cukup tepat!

Secara kualitas, film yang juga jadi Official Selection di ajang Festival Film Cannes, sempat meraih 5 nominasi dari Golden Horse Film Festival (ajang festival film terbaik di Taiwan untuk semua film berbahasa China dari seluruh dunia), termasuk untuk kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Score Film, Script, dan Visual Effect. Walau akhirnya hanya menang di 1 kategori, yaitu Visual Efek, tetap saja film ini menunjukkan kelasnya sebagai film horor berkualitas.

Silk harusnya bisa menjadi contoh buat para filmmaker horor di Indonesia. Bahwa film horor tak melulu diisi dengan adegan-adegan seram dan mengagetkan dan musik hingar bingar penuh tenaga. Silk adalah contoh baik film horor yang berusaha sekuat tenaga menjaga tensi ceritanya sekaligus menggali dramatisasi secara baik. Bukti bahwa film horor pun bisa memiliki cerita yang kuat sebagai pondasi ceritanya.

Silk. Film horor kuat yang berkualitas. Seram, tapi tetap mengalir lembut… Smooth as silk…

Go see it, enjoy the show!!!

Rating : 9/10

Monday, April 19, 2010

RUN LOLA RUN (1998)


Synopsis: A young woman in Germany has twenty minutes to find and bring 100,000 Deutschmarks to her boyfriend before he robs a supermarket. (IMDB.com)

Cast/Crew: Franka Potente, Moritz Bleibtreu / Director : Tom Tykwer




Review:

Every second of every day you're faced with a decision that can change your life.

Dari tangan dingin seorang Tom Tykwer, hadirlah sebuah film thriller unik nan menawan.

Film ini merupakan salah satu film yang cukup memorable. Plot film sebenarnya cuma ada 1, yaitu bagaimana karakter Lola (Franka Potente) berusaha sekeras mungkin untuk membantu sang pacar, Manni (Moritz Bleibtreu) menyelesaikan masalahnya. Lola harus mencegah Manni melakukan tindakan nekat merampok sebuah supermarket demi melunasi hutangnya. Alur cerita bergulir tentang bagaimana Lola terus berlari, dan berlari, dan lari, dan teruuuus berlari demi mencegah Manni berbuat tolol. Well, sesuai dengan judulnya bukan? Lari, Lola, Lariii…..

Ide ceritanya sebenarnya simpel. Sangat simpel malah. Tapi bagaimana Tom Tykwer mempresentasikan filmnya dengan gaya bertutur yang tidak linear, tidak lazim dan cenderung aneh, justru membuat film ini menjadi unik. Film ini merepresentasikan bagaimana manusia mengambil keputusan, dan ada sebuah konsekuensi yang muncul dibalik setiap keputusan tersebut. Hmm… sebuah filosofi yang sangat mengena!

Buat penikmat film yang terbiasa dengan gaya bertutur lurus tentu akan mengernyitkan kening, bingung, dan cenderung apatis dengan film ini. Tidak sedikit pula yang menganggap film ini aneh dan sulit diikuti. Tapi ketika kita meluangkan waktu untuk duduk menyimak film ini, maka ada sebuah petualangan sinematis yang luar biasa, yang disajikan kepada kita melalui gaya maju mundur yang tidak lazim ini.

Secara teknikal, film ini menawarkan pergerakan gambar yang penuh dinamika, bertensi tinggi, dalam tempo yang cepat. Gaya penyutradaraan yang ajaib ini mungkin bukan yang pertama. Tapi, sampai dengan saat ini saya belum menemukan film dengan plot maju mundur seperti film ini, kecuali Memento, yang juga secara brilian membangun tensi cerita melalui gayanya yang non linear.

Film diedit dengan sangat cepat, penuh dengan musik hingar bingar yang menghentak, sesuai dengan nafas film ini.

Selain gaya bertutur yang unik, berbeda, dan sedikit ajaib, yang sebenarnya tetap memorable buat saya adalah filosofi film ini sendiri. Film ini memberikan pencerahan tentang bagaimana setiap manusia harus bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambilnya. Dan bagaimana mekanisme manusia akan berusaha untuk memperbaiki atau menebus kesalahannya dimasa lalu untuk memperbaiki masa depan, atau setidaknya saat ini. Untuk setiap tindakan yang Lola ambil, akan ada konsekuensi baik untuk dirinya sendiri, maupun terhadap Manni. Begitu juga sebaliknya. Dari rangkaian aksi-reaksi tersebut, kita seolah-olah disuguhkan beberapa film dengan endingnya masing-masing. Terserah kita. Apakah kita akan membuat film ini menjadi happy ending, berakhir tragis, atau berakhir ambigu.

Betapa korelasi film ini menjadi sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Tidak usah jauh-jauh mengambil contoh. Keputusan mengambil rute perjalanan menuju kantor yang salah akan membawa kita kepada kondisi kurang mengenakkan seperti macet. Atau pilihan menu makan siang yang salah, bisa-bisa justru membuat kita menjadi diare. Dan masih banyak lagi pilihan-pilihan dan pasangan konsekuensinya. Tapi ada satu pilihan yang saya tahu saya ambil dengan sangat tepat. Aksi nya adalah, saya memutuskan untuk menyaksikan film ini. Reaksinya adalah : I love it!! Sebuah film yang unik, segar dan menyenangkan…!! Hmm.. sungguh sebuah pasangan aksi-reaksi yang pas!

Run, Lola, Run…. A must see for those who love the thrills of seing a movie. Seru, tegang, unik, dan menyenangkan.

Go see it, enjoy the show!!!

Rating : 8/10

Sunday, April 18, 2010

SHAUN OF THE DEAD (2004)


Synopsis: A man decides to turn his moribund life around by winning back his ex-girlfriend, reconciling his relationship with his mother, and dealing with an entire community that has returned from the dead to eat the living. (IMDB.com)

Cast/Crew: Simon Pegg, Nick Frost, Kate Ashfield / Director : Edgar Wright




Review:

A romantic comedy. With zombies.

Hilarious. Mungkin itu kata yang tepat, yang cukup mewakili keseluruhan penilaian film ini.

Film ini bukanlah film zombie biasa. Bukan kisah komedi romantis biasa. Dan yang pasti bukan film horor pada umumnya..

Yang jelas, dalam 1 film ini, kita akan menemukan film komedi yang lucu, drama romantis yang sedikit rumit, ketegangan ala film thriller, dan zombies yang yaa… kaya zombie. Semua plot itu diramu dalam 1 film dan, voila, sebuah sajian film seru, menyegarkan, dan menghibur disajikan dihadapan kita.

Dari sudut drama-komedi romantis, ada cerita tentang Shaun dan Liz yang sedang berusaha memperbaiki hubungannya yang kacau akibat Shaun yang terlalu kaku dan lebih suka menghabiskan waktunya di bar kesukaannya dengan sahabatnya yang pengangguran, Ed. Disinilah plot komedi hadir. Dengan karakteristik yang bertolak belakang, tingkah laku Ed yang masa bodoh, dan segala masalah yang timbul akibat sikap sahabat Shaun tersebut, film ini juga kaya akan humor. Lumayan lucu dan menghibur. Dari sisi drama, ada juga usaha Shaun yang berusaha membangun kembali hubungannya yang sempat renggang dengan sang ibu akibat hadirnya sosok ayah tiri. Ada lagi cerita tentang Shaun dan dunia pekerjaannya yang monoton dan kaku. Ibarat kata, hidup Shaun adalah repetisi alias pengulangan dari pola-pola yang sama setiap harinya. Makanya, di satu titik, dia menjadi jengah dan bosan.

Di tengah kebosanannya itulah muncul para zombies yang diceritakan berasal dari kontaminasi virus, yang yaa, singkat cerita telah menyebar dan menguasai kota. Dari sini, cerita justru bergulir lebih fun dan seru! Bagaimana mereka bertahan hidup dari serangan para zombie, bagaimana usaha Shaun untuk menyelamatkan diri dan geng nya, bagaimana dia berusaha menjemput Liz dan kemudian ibunya menjadi semacam petualangan kecil yang seru. Entah karena napas komedi yang kental atau apa, yang jelas disini zombie diperlakukan dengan tidak serius juga. Bukan tanpa perlawanan. Justru mereka melawan zombie tidak melulu dengan senjata dan parang seperti film zombie lainnya, tapi juga dengan piringan hitam, pemukul criquet, dll.

Film comedy dengan bau “british” yang sangat kental ini memang diramu dengan sangat pas oleh Edgar Wright, sang sutradara. Komposisi drama, komedi, thriller dan yang lain-lain seolah ada dalam takaran yang pas, tidak berlebihan, dan tidak juga kurang. Walau tidak digarap dengan nama-nama besar dibaliknya, tapi film ini seolah menjadi sebuah film dengan kualitas maksimal yang bisa dihasilkan oleh orang-orang holywood. Gaya komikal Simon Pegg dan Nick Frost menjadi magnet utama film yang durasinya cuma 99 menit ini.

Tidak perlu panjang lebar dijelaskan, supaya anda paham mengapa saya sangat menyukai film ini. Bahkan oleh beberapa sumber, film ini dimasukkan kedalam salah satu film dari sekian banyak film yang harus anda saksikan sebelum anda meninggal! Berlebihan? Ya yang pasti mereka punya alasannya. Begitu juga dengan saya. Bahkan di situs imdb.com sendiri, film ini dirating dengan nilai 8.0 dari skala 10, dan ada di urutan 242 dari 250 film dengan rating terbaik sepanjang masa. Tidak berlebihan bukaaan….?

Ramuan yang pas, film dengan tema zombie yang berbeda, dan gaya komedia Shaun dan Ed yang nyeleneh tapi lucu, menjadi daya tarik utama.

Shaun of The Dead adalah film komedi dengan kualitas diatas rata-rata. Bukan sekedar film komedi romantis – dengan zombie. Tapi lebih dari itu.

Go see it, enjoy the show!!!

Rating : 9/10