
Synopsis: An accidental cross-time radio link connects father and son across 30 years. The son tries to save his father's life, but then must fix the consequences. (IMDB.com)
Cast/Crew: Dennis Quaid, James Caviezel, Elizabeth Mitchell, Andre Braugher / Director : Gregory Hoblit
Review:
What If You Could Reach Back In Time? What If You Could Change The Past?
Film ini dirilis pada tahun 2000 silam. Pada waktu itu, film ini kurang mendapat sambutan hangat, baik itu dari hasil penjualan box office maupun umpan balik para kritikus. Menurut mereka, film ini adalah film mediocre yang tidak cukup memuaskan.
Well, orang lain boleh berkatan demikian, tapi selera pribadi lah yang menentukan apakah film ini akan anda sukai atau tidak.
Film dengan sedikit pendekatan sci fi ini dilandaskan pada premis sederhana. Sebagaimana dalam tagline, apa yang akan anda lakukan jika kita bisa memutar balik waktu dan memperbaiki semua yang terjadi di masa lalu? Kira-kira apa implikasi nya buat masa depan kita? Apa yang akan terjadi sesudahnya? Apa yang bisa anda berikan jika anda dihadapkan pada pilihan ini?
Mungkin begitu, sekelumit pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam karakter John Sullivan (yang dimainkan secara cukup depresif oleh Jim Caviezel) ketika dihadapkan pada sebuah fakta bahwa ia bisa berkomunikasi dengan ayahnya, Frank Sullivan (Dennis Quaid, yang hampir selalu pas menjadi karakter bapak dalam film drama) melalui radio akibat munculnya gejala aneh alam. Komunikasi ini menjadi jembatan dari segala aspek drama, thriller, komedi, dan romansa yang dimuat dalam film ini. Some of them succeed, some of them were so lame we might forget easily.
Film ini dari segi dramatisnya sebenarnya berpotensi menjadi drama yang kuat. Entah kenapa, chemistry yang kurang terbangun antara karakter2 didalamnya kurang memberikan kontribusi yang cukup. Ibaratnya, akting para pemainnya tidak berada dalam level yang sama. Jim Caviezel, seperti saya sebutkan tadi bermain cukup meyakinkan sebagai karakter depresif yang gelap, bertemu dengan Dennis Quaid yang berkarakter easy going dan cenderung ringan. Terasa timpang. Entah memang pengkarakteran yang seperti itu, atau memang pendalaman yang berbeda dari 2 tokoh utama tersebut. Jim terasa terlalu dalam dan gelap, sementara Dennis terasa bermain di permukaan dan cenderung ringan. Surfacing aja. Sementara, karakter lain dalam film ini terasa biasa dan cenderung mudah dilupakan.
Premis cerita sederhana, hubungan antara ayah-anak yang menjadi bumbu utama film ini menjadi agak sedikit tersampingkan dengan begitu banyaknya sub plot yang ada. Dalam film ini kita bisa menjumpai plot thriller tentang pembunuhan berantai, plot drama lainnya tentang kehidupan pernikahan John yang kurang harmonis, dan beberapa sub plot lain yang memenuhi film dengan running time sepanjang 118 menit ini. Jadi bisa dibayangkan, dengan masa tayang hampir 2 jam, film ini begitu padatnya dengan berbagai cerita yang saling berdesakan didalamnya. Butuh seorang sutradara handal dan editor mumpuni untuk menjalin cerita dengan berbagai plot seperti ini. Jadi, buat seorang Gregory Hoblit, terasa agak sedikit kewalahan ketika merangkai film ini menjadi sebuah paket film banyak rasa.
Belum lagi aspek sci fi yang seperti di abaikan begitu saja, tanpa memberikan penjelasan apapun fenomena yang ada.
Walau film ini terasa seolah-olah bermain ibaratnya Tuhan (playing God) dengan mengubah masa lalu untuk memperbaiki masa depan, film ini punya sentuhan personal buat saya. Well, to be honest, film dengan isu-isu father and son relationship hampir selalu menggerakkan saya. Bukan, bukan mau curhat atau berkeluh kesah. Tapi saya yakin banyak sekali diluar sana yang memiliki pandangan serupa, bahwa film terkadang menjadi remedy, menjadi obat, menjadi terapi, bahkan menjadi pelarian atas pengalaman-pengalaman pribadi yang kita alami.
Hubungan ayah-anak yang dikemukakan film ini membuat saya tertegun, betapa inginnya saya berada dalam situasi serupa, dimana saya masih bisa berkomunikasi dengan ayah saya yang kebetulan sudah berpulang ke haribaan-Nya. Betapa saya ingin mengubah beberapa hal dimasa lalu yang saya yakin akan membuat kondisi saya jauh lebih baik daripada saat ini. Betapa saya ingiiiiin sekali punya satu kali lagi kesempatan untuk berkomunikasi dengan ayah saya dan menyampaikan hal ini :
“Bapak, saya sangat sayang kepada bapak, dan betapa saya sangat merindukan bapak. I miss you so much and hope you will looking back at me and say how proud you are with me… Love you, dad?”
Terlepas dari pengalaman sinematis yang terasa tanggung dan kurang maksimal, film ini menjadi remedy buat saya dengan sentuhannya yang personal. Maaf ya guys, bukan mau curhat colongan. Tapi seperti saya sebutkan tadi, film juga bisa menjadi semacam sarana buat kita untuk mencapai apa yang kita mau. Kecintaan saya terhadap dunia film salah satunya adalah bahwa film bisa menjadi bentuk-bentuk sederhana dari refleksi pikiran dan perasaan yang kita alami sehari-hari. Film bisa menjadi cermin buat kita. Bisa jadi sarana ekspresi. Bisa jadi apapun yang kita mau. Apa yang di refleksikan film ini melalui isu fatherhood memang membawa saya pada sebuah kesimpulan besar akan karakter manusia. You don’t know what you’ve got till its gone. Kita tidak sadar apa yang sebenarnya telah kita miliki, tapi cenderung kita lupakan. Ketika hal itu hilang, kita baru menyesal.
Frequency bukan film satu-satunya, bukan yang pertama dan terakhir, yang membahas tentang isu hubungan ayah-anak. Tapi buat saya, film ini menjadi sangat personal dengan kecocokan situasi dan pengharapan yang diilustrasikan dalam film. Walau cinematic experience-nya kurang maksimal, tetap saja film ini bisa menjadi rekomendasi buat penyuka film drama keluarga yang hangat. Setelah menyaksikan film, lengkap dengan theme song juara dari Garth Brooks, When You Come Back to Me Again, I feel warm inside. Kalau anda?
Go see it, enjoy the show!!!
Rating : 7/10
No comments:
Post a Comment